masrofiq.com - Kabar duka kembali menyelimuti
umat Islam Indonesia, kali ini kabar tersebut datang dari ulama dan tokoh bangsa
yang dikenal luas dengan sapaan Gus Sholah atau KH. Salahuddin Wahid, meninggal
dunia Minggu (2/2/2020) pukul 20.55 WIB di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta.
Kabar duka tersebut disampaikan oleh putra almarhum, Irfan Asy'ari Sudirman
Wahid atau biasa disapa Ipang Wahid.
Gus Sholah meninggal di usia 77
tahun, setelah mengalami kondisi detak jantung yang tidak beraturan, sebelumnya
juga menjalani operasi ablasi untuk mengatasi gangguan irama jantung atau
aritmia. Hal itu terjadi pada dua pekan lalu dan kondisinya terus menurun. Rencananya
jenazah akan dimakamkan di kawasan pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang, Jawa Timur. Namun sebelum diberangkatkan ke Tebuireng akan
disemayamkan dulu di rumah duka di kawasan Tendean, Jakarta.
Untuk mengenang dan meneladani beliau
mari kita melihat bagaimana profil dan biografi Gus Sholah atau KH. Salahuddin
Wahid. Pria yang lahir di Jombang 11 September 1942 adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy'ari, dan adik kandung dari mantan Presiden RI
Ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau adalah anak ketiga dari pahlawan
nasional KH. Wahid Hasyim (anak KH. Hasyim Asy'ari) dengan Nyai Hj. Sholihah putri KH. Bisri
Sansuri.
Pendidikan dan Masa Kecil Gus Sholah
Salahuddin Wahid kecil memperoleh
pengajaran yang cukup berbeda dengan kakaknya Gus Dur. Jika Gus Dur lebih
banyak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pesantren, berbeda dengan Gus
Solah yang banyak menempuh pendidikan umum, mulai dari SD Perwari di Salemba. Kemudian
pada tahun 1955-1958 melanjutkan sekolah di SMP Negeri I Cikini dengan memilih
jurusan B atau ilmu pasti, selanjutnya masuk di SMA Negeri 1 Budi Utomo. Selepas
itu pada tahun 1962, beliau melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi
Bandung (ITB) dengan mengambil jurusan Arsitektur.
Hal ini terjadi karena Gus Sholah
di Jombang tidak lama dan setalah tahun 1950 Gus Sholah pindah ke Jakarta bersama
ayahnya yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Meski menghabiskan waktu
dipendidikan umum, Gus Sholah masih tetap belajar agama diwaktu sore harinya dengan
kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama. Ini merupakan aktivitas rutin yang
wajib dilakukan setiap hari. Ketika ayahnya masih hidup, kegiatan mengaji
dipimpin langsung oleh sang ayah. Setelah Kiai Wahid wafat, tugas itu diambil
alih oleh sang ibu.
Masa Muda Gus Sholah
Gus Sholah juga termasuk seorang aktivis,
karena sejak beliau muda sudah aktif diberbagai kegiatan keorganisasian dan
kepemudaan, terbukti semenjak duduk di bangku SMA, Gus Sholah aktif di
organisasi OSIS dan ANSOR. Semasa kuliah di Bandung, beliau aktif dalam
kegiatan senat mahasiswa dan dewan Mahasiswa, terbukti pada tahun 1967 beliau
menjadi bendahara dewan mahasiswa ITB. Selain itu Gus Sholah juga aktif di
organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan
di isi oleh mahasiswa-mahasiswi NU. Tercatat sejak tahun 1964-1966, beliau masuk
di komisariat PMII ITB dan sempat menjadi wakil ketua PMII Cabang Bandung.
Sebagai anak kiai, Gus Sholah
tidak meninggalkan tradisi-tradisi pesantren. Beliau tetap belajar mendalami ilmu
agama, selain belajar membaca Al-Qur’an, ia juga belajar fiqih, nahwu, sorof,
dan tarikh. Guru-gurunya diantaranya adalah Ustadz Muhammad Fauzi dan Ustadz
Abdul Ghoffar. Keduanya adalah alumni Pesantren Tebuireng yang tinggal di
Jakarta. Selain itu Gus Sholah juga sempat merasakan pendidikan pesantren
melalui Pesantren Ramadhan, selama beberapa kali liburan sekolah, bliau belajar
ke Pesantren Denanyar Jombang bersama adiknya, Umar Wahid.
Di tengah masa kuliahnya, pada
tahun 1968 Gus Sholah menikah dengan Farida, putri mantan Menteri Agama tahun
1960-an, KH. Syaifudin Zuhri. Pernikahan ini cukup menarik, karena keduanya
sama-sama anak mantan Menteri Agama, Meski hal tersebut tidak ada unsur
kesengajaan, pertemuan keduanya bermula saat tengah menempuh perkuliahan di dua
kampus yang berbeda, kala itu Farida menempuh jurusan kriminologi UI. Mereka
berdua bertemu saat ada kegiatan pertemuan organisasi kampus, karena memang
keduanya sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan. Setelah pernikahan
tersebut, kuliah Gus Sholah juga sempat terhenti cukup lama, kemudian aktif
kembali dan menyelesaikan studinya pada tahun 1979.
Karier di Bidang Arsitektur dan Kontraktor
Karier Gus Sholah sebenarnya
sudah dimulai sejak duduk di bangku kuliah. Saat itu, beliau mulai merintis kariernya
di bidang arsitektur dan kontraktor. Pada tahun 1970, beliau mendirikan
perusahaan kontraktor bersama dua orang kawannya dan kakak iparnya, Hamid
Baidawi. Namun, perusahaan itu hanya bertahan tujuh tahun. Bermula dari situ,
Gus Sholah dikenal sebagai salah satu arsitek handal dan pernah mengepalai
beberapa perusahaan konstruksi besar.
Selain itu Gus Solah juga pernah
bergabung dengan Biro Konsultan PT MIRAZH, menjadi Direktur Utama Perusahaan
Konsultan Teknik (1978-1997), Ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia/Inkindo DKI
(1989-1990), Sekretaris Jenderal DPP Inkindo (1991-1994), Assosiate Director
Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996) dan masih banyak lagi
yang lainnya. Terhitung sejak tahun 1970 hingga 1998, sebagian besar aktivitas
beliau dihabiskan untuk berkarier di bidang arsitektur dan konstruksi.
Aktif di Dunia Kepenulisan
Setelah meninggalkan kegiatannya
di bidang konstruksi akibat krisis moneter, Gus Sholah mengaku sempat
menganggur dan dimasa itulah yang menjadikan titik balik kehidupannya. Beliau menjadi
lebih sering menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan memulai menulis.
Dalam dunia kepenulisan, Gus Sholah mengaku belajar mulai dari nol, karena memang
beliau sendiri tidak terbiasa. Tak jarang istri beliau juga sering menjadi
korektor atas tulisannya sebelum akhirnya bisa benar-benar berkembang. Sejak
saat itu beliau mulai piawai dalam menulis dan mengirimkan buah pikirannya ke
berbagai media cetak. Tulisannya banyak menyoroti berbagai masalah yang dihadapi
oleh umat dan bangsa.
Selain menulis di media massa,
Gus Solah juga banyak menulis buku dan karya-karyanya yang telah dibukukan adalah:
Negeri di Balik Kabut Sejarah (2001), Mendengar Suara Rakyat (2001), Menggagas
Peran Politik NU (2002), Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia (2003) dan
Ikut Membangun Demokrasi, Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden
(2004).
Kemampuan menulis Gus Solah tidak
lepas dari kegigihan dan kegemarannya membaca sejak usia muda. Kebiasaan
tersebut terus dipertahankan hingga usia tua, setiap ada waktu longgar, Gus
Solah selalu menyempatkan diri untuk membaca. Kebiasaan ini semakin intens ketika
masuk bulan Ramadhan. Dalam satu bulan, Gus Sholah bisa menghabiskan sepuluh
judul buku untuk dibacanya.
Karier Politik Gus Sholah
Tak hanya di bidang konstruksi
dan menulis, Gus Sholah juga menorehkan karier di dunia politik. Sejak
bergulirnya era reformasi, Beliau ditawari menjadi Sekjen PPP dengan calon
Ketua Umum Amien Rais. Namun rencana itu gagal setelah Amien Rais mendirikan
partai sendiri (PAN). Kemudian Gus Sholah bergabung dengan Partai Kebangkitan
Umat (PKU) yang didirikan oleh Kiai Yusuf Hasyim, dan menjadi Ketua DPP. Baru
satu tahun masuk partai, beliau mengundurkan diri, lalu ikut maju sebagai kandidat
Ketua Umum PBNU dan kemudian terpilih sebagai salah satu ketua PBNU periode
1999-2004.
Pada akhir tahun 2001, Gus Solah
didaftarkan oleh adik iparnya sebagai calon anggota Komnas HAM. Meskipun dengan
persiapan sekedarnya, beliau berhasil lolos dan terpilih menjadi Wakil Ketua II
Komnas HAM periode 2002-2007. Dalam kariernya di Komnas HAM, Gus Solah sempat
memimpin Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei
1998. Beliau juga sempat menjadi Ketua Tim Penyelidik Adhoc Pelanggaran HAM
Berat kasus Mei 1998, dan pernah menjadi Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau
Buru, serta kasus-kasus besar lainnya.
Sejak saat itulah popularitasnya
semakin menanjak. Pada pemilihan presiden 2004, Gus Sholah dipinang Golkar
untuk maju menjadi cawapres mendampingi Wiranto. Gus Sholah pun memutuskan
mundur dari Komnas HAM dan PBNU karena ingin fokus menjadi cawapres. Namun, di
putaran pertama, pasangan Wiranto-Gus Sholah harus terdepak, karena keduanya
menempati posisi ketiga dari lima pasang calon.
Dedikasi Gus Sholah di Nahdlatul Ulama
Kiprah Gus Sholah di keorganisasian
NU dimulai sejak masih duduk dibangku SMA, saat itu beliau aktif di kepanduan
Ansor. Pada tahun 1977, Gus Sholah bersama aktivis muda NU membentuk “Kelompok
G” yang kelak menjadi cikal bakal tim yang mempersiapkan materi kembalinya NU
ke Khittah 1926. Pada Muktamar NU ke-30 tahun 1999, Gus Solah ikut maju sebagai
salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU, kemudian beliau terpilih sebagai salah
satu ketua PBNU periode 1999-2004. Namun semenjak Gus Sholah maju menjadi
cawapres pada tahun 2004, beliau memutuskan untuk mundur dari kepengurusan PBNU.
Meski sejak itu Salahuddin Wahid tidak
berkiprah lagi di struktur organisasi NU, namun kepedulian beliau terhadap NU
cukup besar. Terbukti beliau tetap berjuang untuk umat dengan caranya sendiri, dan
tak jarang pula Gus Sholah sering melontarkan kritik dan masukan pada NU. Karena
inilah Gus Sholah dikenal sebagai tokoh NU yang idealis dan memiliki komitmen
tinggi untuk memajukan NU.
Dalam hidupnya, Gus Sholah selalu
memberi inspirasi dan sangat peduli terhadap perkembangan NU. Gus Sholah dalam memandang
NU sebagai ajaran yang bisa bertahan dan compartible dengan perkembangan zaman
dan masing-masing aspek ajaran tersebut juga akan mengalami banyak tantangan.
NU sebagai organisasi juga perlu ditingkatkan kinerjanya untuk bisa
memanfaatkan potensi yang ada, agar bisa berperan sehebat ketika sekian puluh
tahun yang lalu. Menurut Gus Sholah, organisasi NU harus terus berjalan di jalur
fitrahnya agar garis perjuangan NU tidak melenceng dan tetap memegang teguh
khittah Nahdlatul Ulama. Sehingga NU mampu menghadapi tantangan-tantangan ke
depan dan bisa memberikan sumbangsih yang besar terhadap bangsa dan negara.
Kembalinya Gus Sholah di Pondok Tebuireng
Sejak hampir 57 tahun tidak lagi
hidup di Jombang, akhirnya Salahuddin Wahid pulang kampong halamannya di Jombang
ketika usianya sudah memasuki 64 tahun dan ditunjuk langsung menjadi pengasuh Pondok
Pesantren Tebuireng. Meski mengaku sempat kagok untuk memimpin pesantren. Akhirnya
terbukti, beliau mampu menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, seringkali
disebut sebagai pembaharu Pesantren Tebuireng. Hal ini terlihat dari intensitas
pembangunan dan revitalisasi di segala bidang pondok Tebuireng mulai berjalan
secara masif.
Dalam mengembangkan pesantren, Gus
Sholah juga dikenal kerap meminta masukan dan kritik untuk memperbaiki dan
meningkatkan kinerja pondok pesantren tersebut. Hasilnya, di awal tahun 2007,
Tebuireng mulai menerapkan sistem full day school. Bahkan, para pembina
dibekali dengan latihan khusus, mulai dari soal kedisiplinan hingga psikologi, sehingga
dapat menjalankan tugas dengan baik. Alhasil di tangan dingin beliau, Pesantren
Tebuireng hingga kini maju pesat dan terus melakukan inovasi.
Gus Sholah Dalam Menjaga Umat dan Negara
Kepergian KH. Salahuddin Wahid tentu
membuat masyarakat Indonesia merasa kehilangan ulama yang teguh dalam meneguhkan
umat dan bangsa. Meskipun Gus Sholah dikenal sebagai pembesar Tebuireng dan
tokoh Nahdlatul Ulama, beliau juga dikenal sebagai ulama yang egaliter, terbuka
dan dekat dengan berbagai kalangan.
Dalam menjaga umat, Gus Sholah termasuk
sosok ulama yang sederhana dan gigih dalam mengajarkan nilai-nilai Islam. Beliau
termasuk sosok yang enak diajak berdiskusi, karena tidak memposisikan diri
lebih tinggi daripada yang lain. Setiap tutur katanya pun memiliki makna dan memancarkan
kesejukan bagi siapapun yang mendengar. Dalam memandang umat, Gus Sholah tidak
pernah membedakan usia dan golongan, beliau juga biasa berlaku hangat dengan
siapa-siapa saja. Selain itu Gus Sholah juga sering menjadi titik temu diantara
beragam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan umat. Bahkan, beliau juga sering
menjadi mediator untuk menyambungkan para kiai yang berbeda pandangan.
Sepanjang hidupnya, Gus Sholah
banyak berkiprah dalam memerjuangkan nilai-nilai ke-Indonesiaan, dan sering terlibat
dalam urusan kenegaraan. Sejak menjabat sebagai anggota Komnas HAM, Gus Sholah
termasuk tokoh yang gigih memperjuangkan martabat kemanusiaan dan hak asasi
manusia. Selain itu pada tahun 2018, beliau juga terpilih sebagai anggota Dewan
Etik Mahkamah Konstitusi, dan disini pula beliau menunjukkan sikapnya yang mengutamakan
karakter negarawan.
Sholahuddin Wahid termasuk seorang
yang kritis dan selalu memberikan saran dan nasihat yang membangun. Beliau juga
sosok yang demokratis, bahkan siap berbeda pendapat dalam wacana keislaman dan
kebangsaan. Dalam hal perbedaan politik, menurut Gus Sholah, adalah hal yang
lumrah. Perbedaan pilihan politik di masyarakat, termasuk juga yang terjadi di
kalangan ulama, tidak seharusnya diperuncing hingga melukai persaudaraan,
persahabatan, apalagi mengorbankan kepentingan bangsa, dan janganlah hal itu
memicu perpecahan bangsa. Beliau adalah tokoh yang
merupakan obor persatuan, Gus Sholah selalu mendengungkan persatuan dan kerukunan di negeri ini. Beliau selalu memiliki keinginan agar masyarakat selalu saling mendekat dan saling memberikan konstribusi terbaik untuk Indonesia.
Selama hidupnya, Gus Sholah
banyak memberikan teladan persatuan, kerukunan tanpa membeda-bedakan, termasuk
dengan umat beragama lain. Beliau adalah salah satu putra terbaik bangsa. Beliau
adalah guru, aktivis, ulama, cendekia, sekaligus tokoh kemanusiaan. Boleh
dibilang beliau adalah paket lengkap dari seorang negarawan dan ulama
Indonesia. Tokoh yang serba bisa dan memiliki jiwa nasionalis sekaligus agamis