Iklan Hukum

Rumah Hukum

Mengenang Gus Sholah: Paket Lengkap Ulama Indonesia

masrofiq.com
03/02/20

masrofiq.com - Kabar duka kembali menyelimuti umat Islam Indonesia, kali ini kabar tersebut datang dari ulama dan tokoh bangsa yang dikenal luas dengan sapaan Gus Sholah atau KH. Salahuddin Wahid, meninggal dunia Minggu (2/2/2020) pukul 20.55 WIB di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Kabar duka tersebut disampaikan oleh putra almarhum, Irfan Asy'ari Sudirman Wahid atau biasa disapa Ipang Wahid.

Gus Sholah meninggal di usia 77 tahun, setelah mengalami kondisi detak jantung yang tidak beraturan, sebelumnya juga menjalani operasi ablasi untuk mengatasi gangguan irama jantung atau aritmia. Hal itu terjadi pada dua pekan lalu dan kondisinya terus menurun. Rencananya jenazah akan dimakamkan di kawasan pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Namun sebelum diberangkatkan ke Tebuireng akan disemayamkan dulu di rumah duka di kawasan Tendean, Jakarta.

Untuk mengenang dan meneladani beliau mari kita melihat bagaimana profil dan biografi Gus Sholah atau KH. Salahuddin Wahid. Pria yang lahir di Jombang 11 September 1942 adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy'ari, dan adik kandung dari mantan Presiden RI Ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Beliau adalah anak ketiga dari pahlawan nasional KH. Wahid Hasyim (anak KH. Hasyim Asy'ari)  dengan Nyai Hj. Sholihah putri KH. Bisri Sansuri.

Pendidikan dan Masa Kecil Gus Sholah
Salahuddin Wahid kecil memperoleh pengajaran yang cukup berbeda dengan kakaknya Gus Dur. Jika Gus Dur lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pesantren, berbeda dengan Gus Solah yang banyak menempuh pendidikan umum, mulai dari SD Perwari di Salemba. Kemudian pada tahun 1955-1958 melanjutkan sekolah di SMP Negeri I Cikini dengan memilih jurusan B atau ilmu pasti, selanjutnya masuk di SMA Negeri 1 Budi Utomo. Selepas itu pada tahun 1962, beliau melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengambil jurusan Arsitektur.

Hal ini terjadi karena Gus Sholah di Jombang tidak lama dan setalah tahun 1950 Gus Sholah pindah ke Jakarta bersama ayahnya yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Meski menghabiskan waktu dipendidikan umum, Gus Sholah masih tetap belajar agama diwaktu sore harinya dengan kegiatan mengaji untuk mengisi ilmu agama. Ini merupakan aktivitas rutin yang wajib dilakukan setiap hari. Ketika ayahnya masih hidup, kegiatan mengaji dipimpin langsung oleh sang ayah. Setelah Kiai Wahid wafat, tugas itu diambil alih oleh sang ibu.

Masa Muda Gus Sholah
Gus Sholah juga termasuk seorang aktivis, karena sejak beliau muda sudah aktif diberbagai kegiatan keorganisasian dan kepemudaan, terbukti semenjak duduk di bangku SMA, Gus Sholah aktif di organisasi OSIS dan ANSOR. Semasa kuliah di Bandung, beliau aktif dalam kegiatan senat mahasiswa dan dewan Mahasiswa, terbukti pada tahun 1967 beliau menjadi bendahara dewan mahasiswa ITB. Selain itu Gus Sholah juga aktif di organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan di isi oleh mahasiswa-mahasiswi NU. Tercatat sejak tahun 1964-1966, beliau masuk di komisariat PMII ITB dan sempat menjadi wakil ketua PMII Cabang Bandung.

Sebagai anak kiai, Gus Sholah tidak meninggalkan tradisi-tradisi pesantren. Beliau tetap belajar mendalami ilmu agama, selain belajar membaca Al-Qur’an, ia juga belajar fiqih, nahwu, sorof, dan tarikh. Guru-gurunya diantaranya adalah Ustadz Muhammad Fauzi dan Ustadz Abdul Ghoffar. Keduanya adalah alumni Pesantren Tebuireng yang tinggal di Jakarta. Selain itu Gus Sholah juga sempat merasakan pendidikan pesantren melalui Pesantren Ramadhan, selama beberapa kali liburan sekolah, bliau belajar ke Pesantren Denanyar Jombang bersama adiknya, Umar Wahid.

Di tengah masa kuliahnya, pada tahun 1968 Gus Sholah menikah dengan Farida, putri mantan Menteri Agama tahun 1960-an, KH. Syaifudin Zuhri. Pernikahan ini cukup menarik, karena keduanya sama-sama anak mantan Menteri Agama, Meski hal tersebut tidak ada unsur kesengajaan, pertemuan keduanya bermula saat tengah menempuh perkuliahan di dua kampus yang berbeda, kala itu Farida menempuh jurusan kriminologi UI. Mereka berdua bertemu saat ada kegiatan pertemuan organisasi kampus, karena memang keduanya sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan. Setelah pernikahan tersebut, kuliah Gus Sholah juga sempat terhenti cukup lama, kemudian aktif kembali dan menyelesaikan studinya pada tahun 1979.

Karier di Bidang Arsitektur dan Kontraktor
Karier Gus Sholah sebenarnya sudah dimulai sejak duduk di bangku kuliah. Saat itu, beliau mulai merintis kariernya di bidang arsitektur dan kontraktor. Pada tahun 1970, beliau mendirikan perusahaan kontraktor bersama dua orang kawannya dan kakak iparnya, Hamid Baidawi. Namun, perusahaan itu hanya bertahan tujuh tahun. Bermula dari situ, Gus Sholah dikenal sebagai salah satu arsitek handal dan pernah mengepalai beberapa perusahaan konstruksi besar.
Selain itu Gus Solah juga pernah bergabung dengan Biro Konsultan PT MIRAZH, menjadi Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997), Ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia/Inkindo DKI (1989-1990), Sekretaris Jenderal DPP Inkindo (1991-1994), Assosiate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996) dan masih banyak lagi yang lainnya. Terhitung sejak tahun 1970 hingga 1998, sebagian besar aktivitas beliau dihabiskan untuk berkarier di bidang arsitektur dan konstruksi.

Aktif di Dunia Kepenulisan
Setelah meninggalkan kegiatannya di bidang konstruksi akibat krisis moneter, Gus Sholah mengaku sempat menganggur dan dimasa itulah yang menjadikan titik balik kehidupannya. Beliau menjadi lebih sering menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan memulai menulis. Dalam dunia kepenulisan, Gus Sholah mengaku belajar mulai dari nol, karena memang beliau sendiri tidak terbiasa. Tak jarang istri beliau juga sering menjadi korektor atas tulisannya sebelum akhirnya bisa benar-benar berkembang. Sejak saat itu beliau mulai piawai dalam menulis dan mengirimkan buah pikirannya ke berbagai media cetak. Tulisannya banyak menyoroti berbagai masalah yang dihadapi oleh umat dan bangsa.

Selain menulis di media massa, Gus Solah juga banyak menulis buku dan karya-karyanya yang telah dibukukan adalah: Negeri di Balik Kabut Sejarah (2001), Mendengar Suara Rakyat (2001), Menggagas Peran Politik NU (2002), Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia (2003) dan Ikut Membangun Demokrasi, Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden (2004).

Kemampuan menulis Gus Solah tidak lepas dari kegigihan dan kegemarannya membaca sejak usia muda. Kebiasaan tersebut terus dipertahankan hingga usia tua, setiap ada waktu longgar, Gus Solah selalu menyempatkan diri untuk membaca. Kebiasaan ini semakin intens ketika masuk bulan Ramadhan. Dalam satu bulan, Gus Sholah bisa menghabiskan sepuluh judul buku untuk dibacanya.

Karier Politik Gus Sholah
Tak hanya di bidang konstruksi dan menulis, Gus Sholah juga menorehkan karier di dunia politik. Sejak bergulirnya era reformasi, Beliau ditawari menjadi Sekjen PPP dengan calon Ketua Umum Amien Rais. Namun rencana itu gagal setelah Amien Rais mendirikan partai sendiri (PAN). Kemudian Gus Sholah bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU) yang didirikan oleh Kiai Yusuf Hasyim, dan menjadi Ketua DPP. Baru satu tahun masuk partai, beliau mengundurkan diri, lalu ikut maju sebagai kandidat Ketua Umum PBNU dan kemudian terpilih sebagai salah satu ketua PBNU periode 1999-2004.

Pada akhir tahun 2001, Gus Solah didaftarkan oleh adik iparnya sebagai calon anggota Komnas HAM. Meskipun dengan persiapan sekedarnya, beliau berhasil lolos dan terpilih menjadi Wakil Ketua II Komnas HAM periode 2002-2007. Dalam kariernya di Komnas HAM, Gus Solah sempat memimpin Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei 1998. Beliau juga sempat menjadi Ketua Tim Penyelidik Adhoc Pelanggaran HAM Berat kasus Mei 1998, dan pernah menjadi Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau Buru, serta kasus-kasus besar lainnya.

Sejak saat itulah popularitasnya semakin menanjak. Pada pemilihan presiden 2004, Gus Sholah dipinang Golkar untuk maju menjadi cawapres mendampingi Wiranto. Gus Sholah pun memutuskan mundur dari Komnas HAM dan PBNU karena ingin fokus menjadi cawapres. Namun, di putaran pertama, pasangan Wiranto-Gus Sholah harus terdepak, karena keduanya menempati posisi ketiga dari lima pasang calon.

Dedikasi Gus Sholah di Nahdlatul Ulama
Kiprah Gus Sholah di keorganisasian NU dimulai sejak masih duduk dibangku SMA, saat itu beliau aktif di kepanduan Ansor. Pada tahun 1977, Gus Sholah bersama aktivis muda NU membentuk “Kelompok G” yang kelak menjadi cikal bakal tim yang mempersiapkan materi kembalinya NU ke Khittah 1926. Pada Muktamar NU ke-30 tahun 1999, Gus Solah ikut maju sebagai salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU, kemudian beliau terpilih sebagai salah satu ketua PBNU periode 1999-2004. Namun semenjak Gus Sholah maju menjadi cawapres pada tahun 2004, beliau memutuskan untuk mundur dari kepengurusan PBNU.

Meski sejak itu Salahuddin Wahid tidak berkiprah lagi di struktur organisasi NU, namun kepedulian beliau terhadap NU cukup besar. Terbukti beliau tetap berjuang untuk umat dengan caranya sendiri, dan tak jarang pula Gus Sholah sering melontarkan kritik dan masukan pada NU. Karena inilah Gus Sholah dikenal sebagai tokoh NU yang idealis dan memiliki komitmen tinggi untuk memajukan NU.
Dalam hidupnya, Gus Sholah selalu memberi inspirasi dan sangat peduli terhadap perkembangan NU. Gus Sholah dalam memandang NU sebagai ajaran yang bisa bertahan dan compartible dengan perkembangan zaman dan masing-masing aspek ajaran tersebut juga akan mengalami banyak tantangan. NU sebagai organisasi juga perlu ditingkatkan kinerjanya untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada, agar bisa berperan sehebat ketika sekian puluh tahun yang lalu. Menurut Gus Sholah, organisasi NU harus terus berjalan di jalur fitrahnya agar garis perjuangan NU tidak melenceng dan tetap memegang teguh khittah Nahdlatul Ulama. Sehingga NU mampu menghadapi tantangan-tantangan ke depan dan bisa memberikan sumbangsih yang besar terhadap bangsa dan negara.

Kembalinya Gus Sholah di Pondok Tebuireng
Sejak hampir 57 tahun tidak lagi hidup di Jombang, akhirnya Salahuddin Wahid pulang kampong halamannya di Jombang ketika usianya sudah memasuki 64 tahun dan ditunjuk langsung menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng. Meski mengaku sempat kagok untuk memimpin pesantren. Akhirnya terbukti, beliau mampu menjalankan tugas dengan baik. Bahkan, seringkali disebut sebagai pembaharu Pesantren Tebuireng. Hal ini terlihat dari intensitas pembangunan dan revitalisasi di segala bidang pondok Tebuireng mulai berjalan secara masif.

Dalam mengembangkan pesantren, Gus Sholah juga dikenal kerap meminta masukan dan kritik untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja pondok pesantren tersebut. Hasilnya, di awal tahun 2007, Tebuireng mulai menerapkan sistem full day school. Bahkan, para pembina dibekali dengan latihan khusus, mulai dari soal kedisiplinan hingga psikologi, sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik. Alhasil di tangan dingin beliau, Pesantren Tebuireng hingga kini maju pesat dan terus melakukan inovasi.

Gus Sholah Dalam Menjaga Umat dan Negara
Kepergian KH. Salahuddin Wahid tentu membuat masyarakat Indonesia merasa kehilangan ulama yang teguh dalam meneguhkan umat dan bangsa. Meskipun Gus Sholah dikenal sebagai pembesar Tebuireng dan tokoh Nahdlatul Ulama, beliau juga dikenal sebagai ulama yang egaliter, terbuka dan dekat dengan berbagai kalangan.

Dalam menjaga umat, Gus Sholah termasuk sosok ulama yang sederhana dan gigih dalam mengajarkan nilai-nilai Islam. Beliau termasuk sosok yang enak diajak berdiskusi, karena tidak memposisikan diri lebih tinggi daripada yang lain. Setiap tutur katanya pun memiliki makna dan memancarkan kesejukan bagi siapapun yang mendengar. Dalam memandang umat, Gus Sholah tidak pernah membedakan usia dan golongan, beliau juga biasa berlaku hangat dengan siapa-siapa saja. Selain itu Gus Sholah juga sering menjadi titik temu diantara beragam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan umat. Bahkan, beliau juga sering menjadi mediator untuk menyambungkan para kiai yang berbeda pandangan.

Sepanjang hidupnya, Gus Sholah banyak berkiprah dalam memerjuangkan nilai-nilai ke-Indonesiaan, dan sering terlibat dalam urusan kenegaraan. Sejak menjabat sebagai anggota Komnas HAM, Gus Sholah termasuk tokoh yang gigih memperjuangkan martabat kemanusiaan dan hak asasi manusia. Selain itu pada tahun 2018, beliau juga terpilih sebagai anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi, dan disini pula beliau  menunjukkan sikapnya yang mengutamakan karakter negarawan.

Sholahuddin Wahid termasuk seorang yang kritis dan selalu memberikan saran dan nasihat yang membangun. Beliau juga sosok yang demokratis, bahkan siap berbeda pendapat dalam wacana keislaman dan kebangsaan. Dalam hal perbedaan politik, menurut Gus Sholah, adalah hal yang lumrah. Perbedaan pilihan politik di masyarakat, termasuk juga yang terjadi di kalangan ulama, tidak seharusnya diperuncing hingga melukai persaudaraan, persahabatan, apalagi mengorbankan kepentingan bangsa, dan janganlah hal itu memicu perpecahan bangsa. Beliau adalah tokoh yang merupakan obor persatuan, Gus Sholah selalu mendengungkan persatuan dan kerukunan di negeri ini. Beliau selalu memiliki keinginan agar masyarakat selalu saling mendekat dan saling memberikan konstribusi terbaik untuk Indonesia.

Selama hidupnya, Gus Sholah banyak memberikan teladan persatuan, kerukunan tanpa membeda-bedakan, termasuk dengan umat beragama lain. Beliau adalah salah satu putra terbaik bangsa. Beliau adalah guru, aktivis, ulama, cendekia, sekaligus tokoh kemanusiaan. Boleh dibilang beliau adalah paket lengkap dari seorang negarawan dan ulama Indonesia. Tokoh yang serba bisa dan memiliki jiwa nasionalis sekaligus agamis