Iklan Hukum

Rumah Hukum

94 Tahun NU Merawat Tradisi Ahlussunnah Wal Jama'ah

masrofiq.com
02/02/20


masrofiq.com - Tak terasa sudah hampir satu abad organisasi Nahdlatul Ulama berdiri sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, tepat dalam kalender hijriyah 31 Januari kemarin NU menginjak usianya yang ke 94 tahun sejak berdirinya pada tahun 1926. Perjalanan panjang Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang bergerak dibidang keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya dan kebangsaan tetap menunjukkan eksistensinya ditengah-tengah perkembangan zaman yang serba digital.

Dalam perjalanannya selama 94 tahun, tentu bukan waktu yang singkat bagi organisasi sebesar NU untuk menjaga umat dan merawat tradisi keislaman yang berpijak pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Sebab belakangan ini banyak muncul beberapa firqah atau kelompok yang terus menerus menggugat keabsahan amaliyah warga NU.

Sebelum kita mengulas tentang bagaimana NU merawat tradisi keaswajaannya dan mengokohkan umat, mari kita sedikit melihat kembali bagaimana sejarah NU dilahirkan. Salah satunya adalah NU dilahirkan dengan semangat untuk mempertahankan tradisi dan khazanah budaya yang menopang dengan ajaran dan syiar agama, dengan menjadikan budaya sebagai infrastruktur agama. Tentu saja sepanjang tradisi, budaya, dan adat istiadat yang ada tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Paham Keagamaan NU
NU sebagai organisasi keagamaan menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, dimana sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan ekstrem naqli (skriptualis). Sehingga sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur’an dan as-Sunah, tetapi juga menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum Islam.

Sedangkan dalam bidang akidah atau tauhid, NU mengikuti paham aswaja yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansyur al-Maturidi. Kemudian dalam bidang fikih, NU mengikuti madzhab Imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab lainnya yaitu Imam Hanafi, Maliki, dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, NU mengikuti Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi.

Selanjutnya dalam sikap kemasyarakatan, khitah NU menjelaskan empat prinsip aswaja yaitu tawasuth (sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan), tawazun (seimbang) dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama manusia. dan terakhir adalah amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran).

NU Dalam Melihat Tradisi dan Budaya
Kalau melihat jauh kebelakang sebelum Islam datang, masyarakat Indonesia mayoritas pemeluk taat agama Hindu-Budha serta telah memiliki banyak kekayaan tradisi dan budaya yang kental dengan nuansa Hinduisme. Oleh karena itu, penyebaran agama Islam yang dibawa oleh wali songo dilakukan melalui pendekatan sosial kebudayaan, sehingga Islam yang dibawa bisa menyatu dengan budaya. Karena kearifan yang sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Terbukti nilai-nilai Islam berhasil diselaraskan dengan ajaran setempat dan terjadi akulturasi antara budaya dan agama, kalau kita melihat tidak sedikit tradisi dan budaya yang kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam yang hingga kini masih tetap digunakan.

Dalam pandangan kaum Nahdliyyin, kehadiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw dan disebarkan di Indonesia oleh para ulama dan walisongo, bukanlah untuk menolak segala tradisi yang mengakar menjadi kultur budaya masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan-pembenahan dan pelurusan-pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak sesuai dengan risalah Rasulullah saw. Budaya yang telah mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan mengakulturasikannya bahkan mengakuinnya sebagai bagian dari budaya dan tradisi Islam itu sendiri.

Melihat hal demikian tradisi dan budaya yang berkembang dimasyarakat, NU memandangnya secara positif, karena tradisi dan budaya dapat dijadikan media dakwah dan instrumen melaksanakan keyakinan agama dan praktik berkeagaaman. Bahkan dalam pandangan fiqih tradisi atau adat kebiasaan dapat dijadikan sebuah sumber hukum, sebagaimana kita mengenalnya dalam kaidah fiqih al-Adah Muhakkamah.

Inilah wujud dari Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipegang NU dalam memberikan apresiasi dan afirmasi terhadap kebudayaan dan tradisi, dimana dengan melestarikan budaya sebagai infrastruktur yang diatasnya ada nilai-nilai syarit Islam. Sedangkan kriteria yang dapat diterapkan pada adat kebiasaan, tradisi dan budaya yang dipegang NU, selain berpijak pada kebenaran akal sehat manusia juga tidak bisa lepas dari norma-norma syariat Islam. Salah satunya adalah, tidak bertentangan dengan syariat, lalu tidak menyebabkan kerusakan atau menghilangkan kebaikan, kemudian telah dilakukan secara berulang-ulang di kalangan umat Islam, serta melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik. Dengan kriteria inilah NU bisa bersikap arif, bijaksana dan selektif dalam menyikapi dan mengamalkan tradisi budaya secara kreatif.

NU Dalam Marawat Tradisi dan Budaya
Tidak dapat diipungkiri bahwa keberhasilan agama Islam bertahan di Nusantara justru terjadi karena adanya akulturasi budaya dan agama. NU sebagai organisasi keagamaan dalam menjalankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah masih tetap melestarikan tradisi-tradisi dan budaya para ulama terdahulu. Terbukti masih banyak ritual keagamaan yang masih dipraktikkan warga NU tanpa menyingkirkan faktor tradisi seperti misalnya upacara sekaten, megengan, tahlilan, kenduren, sedekah bumi dan sedekah laut, ziarah kubur dan lain sebagainya. Warisan-warisan seperti itu sampai kini masih mengisi praktik keagamaan masyarakat Islam Nusantara dan masih dirawat oleh warga NU.

Kaitanya dengan amalan dan tradisi warga NU banyak orang mengategorisasikan NU sebagai gerakan kelompok tradisionalis. Namun jika dilihat secara objektif, predikat tradisional yang melekat inilah yang sebenarnya membuat eksistensi NU terus menemukan aktualitasnya. Sampai saat inipun NU mampu berjalan diatas modernitas dan perkembangan zaman. Karena menurut NU kemajuan sebuah peradaban itu penting. Akan tetapi mengakarnya peradaban tetap pada nilai-nilai tradisi yang lestari itu menjadi hal yang jauh lebih penting. Karenanya agama adalah institusi yang fokus pada penyebaran ajaran tentang keyakinan dan pengawalan nilai-nilai kebaikan yang berlaku secara ajeg dalam tradisi yang lestari.

Tantangan NU Dalam Marawat Tradisi dan Budaya Ahlussunnah
Tentunya dalam menjalankan tradisi ke-NU-an dan ke-aswaja-an gelombang serangan terhadap eksistensi NU terus berdatangan dalam setiap dasawarsa, sampai saat ini juga masih ada kelompok-kelompok yang terus menerus menggugat keabsahan amaliyah warga NU. Selain itu, ancaman juga datang dari gerakan-gerakan Islam radikal maupun Islam liberal. Bahkan serangan juga datang dari kebudayaan Barat, yang menuduh Islam ini sebagai Islam sinkretis, yang konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan zaman. Bahkan saat ini sistem kapitalisme global yang manawarkan budaya sekuler dan hedonis juga memberikan ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas warga NU yang dengan gigih mempertahankan moral dan tradisi.

Permasalahan yang sering dibenturkan dengan NU adalah perdebatan amaliyah NU yang dianggap itu haram, bid’ah, syirik, tasyabbuh, khurafat, musyrik dan kafir, saya rasa semua ini seharusnya sudah selesai dan tidak perlu lagi menjadi perdebatan disetiap momen-momen tertentu, apalagi kita disibukkan dalam kubangan perdebatan ini. Karena sudah jelas hujjah dari amaliyah NU sedah banyak dijelaskan dan dituliskan oleh uluma-ulama NU. Namun masalahnya adalah bagaimana dasar-dasar amaliyah NU bisa dipahami oleh masyarakat dan bagaimana pesan ini bisa tersampaikan. Disinilah peran NU dalam merawat tradisi dengan memberi pemahaman bagi mesyarakat, karena jika pemahaman keagamaan ini tidak diberikan, maka warga NU akan mudah terpengaruh dengan isu-isu yang dapat melemahkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

NU Dalam Menyikapi Perkembangan Zaman
Sebagai warga NU dan generasi muda NU tentu harus menyadari ancaman permasalahan ini dan harus memikirkan perkembangan zaman yang semakin maju. Keberadaan NU telah menyatakan bahwa modernisasi pemikiran keagamaan perlu dilakukan, namun bukan lantas meninggalkan tradisi lama. Tentu sudah menjadi keharusan bagi generasi penerus untuk terus merawat dan mengembangkan tradisi yang selama ini dikembangkan oleh ulama NU. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa seiring berkembangnya zaman tentu akan muncul berbagai tradisi dan macam budaya baru.

Jangan sampai generasi muda NU terjerembap dalam modernitas perkembangan zaman dan terpengaruh oleh ide pencerahan yang memusuhi tradisi klasik. Sudah seharusnya dalam kemajuan zaman generasi NU dengan bangga kembali menggunakan tradisinya, karena secara substansial tradisi-tradisi klasik itu masih layak untuk diterapkan. Mengingat dalam NU modernisasi pemikiran keagamaan perlu dilakukan tanpa meninggalkan tradisi lama. Tentu dalam menyikapi perkembangan zaman sikap yang perlu diambil adalah melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik. Sebagaimana dalam kaidah fiqih disebutkan al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.

Pemahaman tentang modernisasi pemikiran keagamaan dan tidak harus meninggalkan tradisi yang lama, tentu masih kurang sempurna, karena yang semestinya dilakukan adalah integrasi antara keduanya, diamana antara tradisi lama dan wacana kontemporer, demi mencapai pengetahuan yang komprehensif. Tradisi bukanlah suatu hal yang layak dibuang, bukan pula berhala yang berhak disembah, melainkan sebuah senjata yang akan bermanfaat bila digunakan dengan tepat. Dalam hal ini keberadaan NU diharapkan mampu merespon perkembangan zaman dan mampu merawat tradisi ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.

Terakhir kalinya, NU bertahan hampir satu abad karena dibangun diatas landasan yang kokoh dalam paham keagamaannya, yaitu menghimpun tradisi teks dan nalar, sehingga pemahaman keagamaan yang dikembangkanya tidak hanya bersifat tekstual, tapi juga kontekstual. Dengan semangat kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah jangan sampai mengekang nalar, sehingga beragama terasa ketat dan kaku. Namun, perhatian terhadap akal yang berlebihan hingga mengabaikan teks juga bisa membuat agama tercerabut dari akarnya. Teks keagamaan, baik itu al-Quran maupun hadits, tidak boleh diabaikan atas nama pembaharuan atau tajdid. Keseimbangan antara tradisi teks dan nalar itulah salah satu aspek penting wasathiyyah (moderasi) dalam berIslam.