Iklan Hukum

Rumah Hukum

Hate Speech dan Kebebasan Berpendapat

masrofiq.com
17/03/22


masrofiq.com - Kebebasan berpendapat yang ditekan secara represif telah menemukan jalannya, sejak lengsernya JenderaI Besar Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Runtuhnya orde baru menuntut adanya reformasi besar-besaran di Indonesia. Reformasi memberikan harapan besar bagi Indonesia untuk mewujudkan perubahan menuju penyelenggara negara yang lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance serta adanya hate speech dan kebebasan berpendapat (Perlindungan HAM). Gerakan reformasi yang telah digagas diharapkan mampu mendorong perubahan mental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, dan persaudaraan.

Amandemen UUD 1945 yang merupakan tuntutan reformasi begitu mempengaruhi kehidupan (negara hukum) berbangsa dan bernegara. Penambahan bab tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 (pasal 28 A-28 J) merupakan poin penting bagi bertumbuhnya negara hukum yang menjamin keberadaan hak asasi manusia. Dengan adanya rumusan HAM dalam UUD 1945, maka secara konstitusional hak asasi setiap warga negara dan penduduk Indonesia lebih terjamin dan telah mendapatkan legitimasi hukum yang kuat.

Poin penting yang menjadi pokok dalam pembahasan ini adalah kebebasan berpendapat dalam HAM yang telah di jamin oleh konstitusi. Kebebasan berpendapat tertuang dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Keberadaan hak kebebasan berpendapat dalam hal ini menjadi poin penting dalam berjalannya reformasi. Kebebasan berpendapat ini melahirkan kebebasan berpendapat dimuka umum, kebasan pers dan lain sebagainya.

Sebegitu bebasnya dalam berpendapat kadang kala cenderung timbul tindakan liberalisasi dalam berpendapat. Seolah-olah mulut ataupun media yang digunakan dalam berpendapat dianggap sebagai kebebasan yang mutlak adanya. Kewajiban untuk menghargai orang lain dan menjaga hal-hal yang berpotensi terhadap konflik sosial kadangkala hanya menjadi semboyan semata. Berpendapat sebebas-bebasnya tanpa mempertimbangkan akibat yang terjadi, apalagi menjadikan konstitusi sebagai legitimasi. Ini merupakan liberalisasi dan adanya distorsi dalam memaknai kebebasan.

Kebebasan berpendapat kadangkala menimbulkan konflik sosial akibat liberalisasi berpendapat. Kebebasan berpendapat yang disertai dengan kepentingan golongan seringkali berpotensi menimbulkan konflik sosial. Hate speech, fitnah dan berita kebohongan merupakan sebagian kecil dari ungkapan kebebasan berpendapat yang dirasa sering menimbulkan konflik. Kebebasan berpendapat kerapkali berlindung dibawah payung HAM yang merupakan suatu hak konstitusional warga negara Indonesia.

Hate Speech, Kebebasan Berpendaapat dan Konflik Sosial

Hate speech adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Secara yuridis hate speech diatur dalam KUHP pasal 310, 311,315,317 dan 318.

Permasalahan hate speech dan kebebasan pers acap kali menjadi polemik. Pada satu sisi era reformasi memberikan ruang seluas-luasnya bagi media baik cetak maupun online untuk menampung segenap wacana. Namun, bukan hal yang aneh pula reformasi juga memberikan ruang bagi munculnya semangat kebencian disebarkan di media massa. Tak jarang jika persoalan hate speech berlindung di bawah payung HAM. Kebebasan berpendapat menjadi legitimasi utama dalam melakukan tindakan hate speech. Potensinya terhadap konflik sosial semakin menjadi ketika fanatisme antar kelompok, agama ataupun ras ada pada tensi yang begitu tinggi. Tidak sedikit permasalahan konflik sosial baik itu berupa pembantaian, pengeroyokan atau tindakan anarkisme lainya yang bermula dari hate speech.

Tingkat fanatisme sebagian masyarakat Indonesia memang masih tinggi. Dari sini permasalahan konflik sosial sering muncul, berawal dari ucapan kebenciaan, penghinaan ataupun sejenisnya terkadang konflik antar kelompok bermula. Contoh, konflik yang terjadi antara Aremania dan Bonekmania yang menjadi persoalan mainstream dalam dunia suporter bola di Indonesia. Jika kita coba mengecek di media massa tentang kedua supporter bola tersebut tidak ada kata indah, perkataan kotor, saling menghina, hasutan menjadi pemandangan yang biasa. Alhasil seringkali kedua kubu tersebut melakukan tindakan anarkis karena saling merasa sakit hati atas perang hujatan yang ada. Akhir-akhir ini kita sering melihat adanya kebebasan berpendapat dan hate speeech yang selalu menggunakan isu ras dan agama untuk mengadu domba antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya, sehingga memunculkan kebencian terhadap kelompok yang satu dengan yang lainnya. Belajar dari semua kasus yang terjadi, hate speech telah terbukti berpotensi besar terhadap konflik sosial.

Kebinekaan negara tercinta ini semakin terancam jika persoalan semacam hate speech ini tidak kunjung teratasi, bagaimanapun juga konflik sosial harus dihindari dan harus ada upaya pencegahan. Negara Indonesia yang kaya akan suku, agama, ras, budaya dan golongan akan menjadi rentan terhadap konflik sosial dengan berbagai macam tindakan dan ancaman. Kebinekaan Indonesia yang sudah menjadi sebuah semboyan bangsa harus tetap diteguhkan dan ditegakkan demi terjalinnya suatu persatuan dan kesatuan. Pencegahan dan penanganan baik secara politis, yuridis maupun kultural terhadap konflik sosial harus diupayakan oleh seluruh elemen bangsa, hal ini semata-mata untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, perdamaian dan persatuan adalah prioritas negeri ini yang harus tetap dijaga dan konflik sosial akibat liberalisasi berpendapat harus dihindari dan dihadapi dengan cara yang dewasa.

"Berkata Ramah Itu Indah"

Masyarakat Indonesia terkenal masyarakat yang ramah dan santun di mata dunia. Kearifan lokal dan budaya seperti ini harus tetap dijaga agar keramahan dan kesantunan masyarakat Indonesia berbuah menjadi perdamaian. Sedangkan perdamaian secara mutlak merupakan harapan setiap manusia. Menghargai kehidupan orang lain harus dilakukan oleh insan yang tinggal dimuka bumi ini. Eksistensi keramahan Indonesia dimata dunia harus tetap dipertahankan dan perdamaian harus tetap dijaga.

Bagaimanapun, perdamaian di Indonesia harus tetap di junjung. Keberagaman dan multikulturalisme di Indonesia menjadi kearifan lokal dan akar budaya yang harus tetap dilindungi keberadaanya. Hal-hal yang bisa memecah belah negeri ini harus di hindarkan oleh setiap elemen bangsa. Konflik sosial ataupun sejenisnya yang mengancam kesatuan Republik Indonesia yang berpotensi terhadap disintegrasi negara merupakan tanggung jawab seluruh elemen bangsa agar tidak terjadi di negeri tercinta ini. Jika, hate speech memang berpotensi terhadap konflik sosial yang dapat memecah belah harmonisme keberagaman berbangsa dan bernegara, sebagai masyarakat Indonesia yang baik mulailah untuk menjaga ucapan dan menjadi ramah dengan perkataan yang santun.