Iklan Hukum

Rumah Hukum

Profil dan Biografi Sejarah TAN MALAKA

masrofiq.com
16/11/21



Nama lengkap : Ibrahim Datuk Tan Malaka
Lahir : Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. 2 Juni 1897
Meninggal : Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. 21 Februari 1949
Gelar : Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Dasar penetapan : Keppres No. 53 Tahun 1963
Tanggal penetapan : 28 Maret 1963


Merdeka Seratus Persen

Tan Malaka merupakan pejuang militan nan radikal yang mempunyai peran besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia termasuk tokoh revolusioner yang legendaris dan menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Hindia (Indonesia) dan selalu terancam penahanan oleh penguasa Belanda maupun Inggris. Tanpa hentinya ia selalu memperjuangkan kemerdekaan. Dua puluh tahun sebelum Indonesia merdeka, Tan Malaka telah mengumandangkan sebuah negeri merdeka dalam tulisannya, “Naar de Republiek Indonesia” Menuju Republik Indonesia (1925) dan dua tahun berikutnya memproklamirkan Partai Republik Indonesia (PARI). Jauh sebelum Indonesia merdeka, Tan Malaka telah menyebut-nyebut bahkan berusaha mewujudkan kata “Republik Indonesia”.


Seorang tokoh politik kontroversial dalam sejarah Indonesia modern ini bernama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka. Ia lahir di tengah lingkungan Minangkabau, dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Simabur. Ia masuk sekolah dasar di Suluki pada 1902 lalu melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru) di Fort de Kock, dekat Bukittinggi. Oleh seorang pengajar G.H. Horensma ia didesak untuk melanjutkan pendidikan di negeri Belanda. Pada tahun 1912 ia berangkat ke Belanda untuk melanjutkan sekolah di Rijks Kweekschool Haarlem Belanda.


Di Belanda ia mengembangkan diri dan terlihat menonjol dalam ilmu pasti, sehingga dipuji para gurunya yang umumnya mengira orang-orang Hindia Belanda tidak mampu mengerti soal ilmu pasti. Meski Tan Malaka mendalami pendidikan guru, ia juga mengagumi kedisiplinan organisasi militer hingga ia juga mendalami kemiliteran di Akademi Militer Breda, dan membaca banyak buku tentang kemiliteran.


Bersamaan dengan Revolusi Rusia 1917 minatnya terhadap buah pikiran Marx dan Engels semakin besar. Tan Malaka kerap mengikuti berbagai pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam, juga diskusi terbuka antara Sneevliet dan Suwardi tentang “Kecenderungan Nasionalis dan Sosialis dalam Pergerakan Nasional Hindia” di Amsterdam pada 1919.


Di akhir tahun itu pula, Tan kembali ke Hindia (Indonesia) dan menjadi guru di perkebunan Deli. Namun ia tidak bertahan lama karena tidak suka dengan ketimpangan sosial kolonial. Ia lalu menuju Semarang untuk bergabung dengan tokoh-tokoh kiri radikal dan mendirikan sekolah rakyat yang kemudian popular. Kemudian Tan Malaka segera bergabung dengan partai komunis dan dinobatkan menjadi ketua partai pada tahun 1921.


Tan Malaka menjadi tokoh terpenting partai ini sejak kepergian Semaun ke Rusia. Ia mengembangkan cabang Partai ini di daerah dan mengecam pemerintahan kolonial yang menindas para buruh. Kemudian ia ditangkap karena terlibat dalam aksi pemogokan para buruh perkebunan pada 1922. Tan kemudian mengajukan permohonan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk dibuang ke Belanda.


Jadilah ia dua kali mengunjungi Belanda, tetapi untuk yang kedua ini ia tidak lama. Ia kemudian justru pergi ke Moskwa Rusia (1922). Di sana ia berkumpul dengan tokoh komunis internasional. Pada 1924 ia telah menjadi duta Komintern (komunis internasional) Asia Pasifik yang berkedudukan di Kanton China. 


Semenjak itu, Tan Malaka berlalu lalang ke berbagai negara di Asia pasifik dan diburu intelijen Belanda hingga Inggris dan harus menyamar menjadi orang lain dengan nama berbeda-beda, dari nama Cina hingga Arab. Pada 1924, Tan menulis brosur “Menuju Republik Indonesia” yang baru bisa dicetak tahun 1925 di Cina. Buku ini dibaca kaum pergerakan di Hindia (Indonesia).


Saat akan meletus pemberontakan komunis pada tahun1926, Tan menolak keputusan rapat PKI di Prambanan. Ia menyatakan gerakan itu masih prematur dan akhirnya ia terbukti benar karena gerakan revolusi itu gagal total. Hampir berbarengan dengan pemberontakan, ia menulis buku Massa Actie (Aksi Massa) sebagai pedoman untuk melancarkan revolusi. Setelah itu, demi pergerakan kemerdekaan, ia mendirikan PARI di Singapura. Malaka terus berjuang dengan berpindah-pindah tempat dari Cina hingga Singapura. Petualangannya yang legendaries itu akhirnya direkam dalam sebuah novel laris bertajuk Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia) yang terbit di Medan pada 1938.


Pada tahun 1942, berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang, Tan Malaka kembali menelusup ke tanah air dan tiba di Jakarta. Ia kemudian berada di Bayah Banten, diantara para Romusha dan menulis buku Madilog serta menyusun kekuatan bawah tanah. Selain itu Tan juga memiliki jaringan dengan pemuda Menteng 31 yang terlibat penjemputan Soekarno Hatta ke Rengasdengklok. Tan juga terlibat penggerakan massa dalam rapat raksasa di lapangan Ikada 19 September 1945.


Pada bulan Januari 1946, Tan Malaka segera membentuk front Persatuan Perjuangan di Purwakarta. Ia menentang perjanjian Linggajati dan Renville, dalam front ini Tan mendesak untuk meraih kemerdekaan seratus persen dari Belanda. Ia berjuang menentang perjanjian Linggajati dan Renville yang merugikan Indonesia. Ia sempat diamankan sebentar oleh pemerintah pada Maret 1946. Setelah itu, Ia menjadi anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) dan pada 7 November 1947, ia mendirikan partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).


Pada masa peristiwa “Madiun Affair” Tan Malaka ikut bergerilya hingga pada tanggal 21 Februari 1949, ia tewas tertembak di lereng gunung Wilis Kediri Jawa Timur dan kuburannya tidak pernah diketahui dengan pasti.


Atas perjuangan dan jasa-jasanya yang luar biasa dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia di masa presiden Soekarno memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada Tan Malaka pada tahun 1963. Malaka mendapat gelar Pahlawan 24 tahun setelah kepergiannya yang masih misterius.