Iklan Hukum

Rumah Hukum

Monumen Nasional: Sejarah dan Refleksi Jiwa

masrofiq.com
09/11/21



masrofiq.com - Siapa yang tidak mengenal monumen nasional yang populer dengan Monas atau Tugu Monas? Monumen kebanggaan Negara yang satu ini amat megah berdiri di tengah-tengah Lapangan Medan Merdeka Jakarta Pusat. Monumen yang dibangun setinggi 132 meter atau 433 kaki dan ujung atasnya dimahkotai dengan lidah api yang dilapisi lembaran emas ini merupakan simbol untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan semangat perjuangan yang menyala-nyala.


Mengunjungi Jakarta, rasanya belum lengkap jika tidak mampir menuju tempat yang satu ini, pemandangan yang indah dengan taman-taman yang membentang mengelilingi monumen ini memberikan nuansa lain dari kota Jakarta. Di tengah-tengah kegersangan dan kepadatan kota Jakarta, akan terasa seperti melihat oase di tengah gersangnya padang pasir jika menyinggahkan mata di monumen nasional ini.


Aroma perjuangan bangsa Indonesia begitu pekat merasuk dalam penciuman jiwa, disaat kaki perlahan memasuki gerbang taman nasional Monas, terasa seperti bercengkerama dengan roh-roh para pahlawan yang dulu telah mengorbankan seluruh jiwa raga mereka hingga nama-nama mereka kini bersandar dalam keabadian melalui monumen suci ini.


Setelah memperhatikan bagian demi bagian dari tempat ini, di utara monas terdapat patung Diponegoro dengan Kuda Jantan yang menjadi tunggangannya, persis seperti ketika ia dalam pertempuran sengit. Terlukis dalam jiwa tentang perjuangan pangeran Diponegoro melawan penjajah belanda, perlahan dada tergetar dan merasuk halus jiwa-jiwa tenang dalam jiwa seolah berbisik, “engkau harus mengikuti semangatnya”. Merespon ajakan jiwa, perlahan menganggukkan kepala. Nampak pula lidah api yang membara di ujung tertinggi bangunan ini, Nampak seperti api obor yang menjilat-jilat angkasa, api itu melambangkan semangat yang tidak pernah padam.


Dewasa ini keadaan kaum muda begitu memprihatinkan, disaat arus digitalisasi yang semakin deras merasuk dalam kehidupan manusia, begitu juga semakin lunturnya jiwa-jiwa spiritual dan kepahlawanan dalam dada mereka, ibarat arus badai yang mengikis dataran sungai dan membawa aliran yang deras bercampur lumpur yang pekat bahkan sampai merusak beberapa rumah penduduk di sekitarnya.


Kenyataan inilah yang membuat kita harus menahan perih dalam jiwa kita yang secara tidak langsung merupakan tanggung jawab kita semua untuk menyelamatkan generasi muda. Di tambah lagi dengan semakin mahalnya biaya pendidikan sehingga minat sekolah yang sudah mau hilang serasa ditindas oleh dunia pendidikan. Keadaan seperti ini semakin memperparah zaman ini sebagaimana yang dikatakan Ronggo Warsito adalah zaman edan ini.


Menanggapi permasalahan yang semakin rumit ini, penulis mencoba menawarkan solusi yang mungkin tidak begitu realistis, namun jika kita meninjau lebih lanjut, saya yakin ini adalah sesuatu yang bermanfaat untuk kita renungkan guna mengantisipasi kehancuran kaum muda di zaman yang serba salah ini.


Meminjam perkataaan Muhammad Hatta dalam sebuah sambutannya di Yogyakarta, “Agama dan sejarah memperluas pandangan agama”, kita menyadari betapa pentingnya nilai agama dan sejarah dalam kehidupan kita, terlebih dalam hidup bernegara, "kita tidak bisa dikatakan bangsa yang besar jika kita tidak menghargai sejarah bangsa kita sendiri", demikian kata presiden pertama Indonesia Ir Soekarno.


Lantas sejauh mana sejarah telah merasuk dalam kehidupan kita? Sejauh mana kita mengkaji sejarah untuk membangun sesuatu yang lebih lagi? Kita harus meneguhkan hati dan meraba jiwa kita dalam-dalam dan menyaksikan posisi pendahulu kita dalam sanubari kita, guna meminjam kekuatan mereka dulu dalam melawan penjajah untuk menegakkan bendera sang merah putih dalam lahan kehidupan yang tak terikat.


Mempelajari sejarah tidak hanya melewati buku-buku sejarah. Misalnya ada teman-teman yang beralasan malas membaca, atau karena tidak ada uang untuk membeli buku dan sejuta alasan untuk mengikuti kemalasan yang bersandar dalam jiwa. Kita bisa saja menemukan sejarah dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah atau seperti museum-museum kepahlawanan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya adalah monumen nasional di Jakarta.


Banyak sekarang kita lihat, pemuda-pemudi sibuk dengan kegiatan yang konon katanya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat yang dizalimi oleh pemerintah, dan juga mahasiswa-mahasiswa yang yang mengaku aktivis, menyibukkan diri mereka dengan sesuatu yang sangat sia-sia hingga mereka lupa pada tujuan yang sebenarnya yakni cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana yang tertera jelas dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan pancasila.


Mereka melakukan aksi demo dengan turun jalan, berkumpul ditengah jalan bahkan hingga merusak gedung-gedung pemerintah seperti yang sering terjadi dewasa ini. Dimana letak sila kedua dalam diri mereka? Dimana letak sila ketiga? Dan sekarang juga kita melihat orang-orang berlomba-lomba saling mengkafirkan, menganggap golongannya yang paling benar, bahkan sampai main hakim sendiri untuk menutup eksistensi ajaran yang mereka nilai telah menyimpang dari jalur yang mereka lewati. Dimana letak sila pertama?


Bukti-bukti di atas adalah sebagian kecil dari kenyataan masyarakat kita yang kini telah mulai meninggalkan ajaran pokok bangsa mereka yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Dengan adanya peninggalan-peninggalan sejarah bangsa, mari kita gali nilai-nilai luhur yang tertanam di monumen-monumen bersejarah bangsa ini, guna menyentuh kembali jiwa-jiwa masa lalu yang kini telah bertanah, namun sejatinya kekuatannya masih memancar menggapai langit memberikan cahaya dalam jiwa-jiwa yang mau menggalinya. Serta menyarangkan kepahlawanan dalam dada setiap insan manusia, lebih-lebih ditengah kegersangan zaman yang perlahan mengikis nilai-nilai nasionalisme bangsa ini.


Semoga jalan-jalan setapak yang menghubungkan dunia kita dan dunia mereka bisa kita perjelas guna menembus keberadaan mereka untuk mengambil semangat dan jiwa luhur mereka guna memperbaiki moral bangsa yang kini sudah mulai rapuh.